Senin, 23 Mei 2011

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI "SEGI HUKUM BISNIS DALAM KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN MELALUI PENJUALAN SAHAM DI PASAR MODAL INDONESIA Oleh Pandu Patriadi

SEGI HUKUM BISNIS DALAM KEBIJAKAN
PRIVATISASI BUMN MELALUI PENJUALAN SAHAM
DI PASAR MODAL INDONESIA
Oleh
Pandu Patriadi

Abstraksi
Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999 - 2004 yang menyatakan bahwa bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk melakukan privatisasi melalui pasar modal. Prosedur kebijakan privatisasi BUMN kemudian diperkuat dan diatur dalam UU No. 25 Tahun 2000 Tentang PROPENAS Tahun 2000 - 2004, yang salah satu kegiatan pokoknya adalah kewajiban pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan kepemilikan BUMN melalui proses privatisasi. Untuk menjaga momentum kebijakan privatisasi BUMN pada bulan Juni 2003 pemerintah bersama dengan parlemen (DPR) telah mengesahkan UU No. 19/2003 Tentang BUMN yang menjadi dasar hukum dalam pengelolaan dan pengawasan BUMN.
Dasar analisis dalam penelitian ini adalah struktur dasar hukum bisnis kebijakan privatisasi BUMN yang terdiri dari 1 UUD, 2 TAP MPR, 16 UU dan 8 Peraturan dibawah UU. Out-put penelitian ini adalah simulasi matriks strengtsh-weakneses-opportunies-threats (SWOT) yang dapat digunakan dalam kebijakan privatisasi BUMN melalui penjualan saham di pasar modal Indonesia. Pendekatan hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengupas proses hukum yang berkembang disekitar penjualan saham BUMN.
Temuan dalam penelitian ini adalah Indonesia sudah memiliki dasar hukum bisnis dan peraturan-peraturan yang “relative” lengkap akan tetapi implementasi kebijakan privatisasi BUMN melalui penjualan saham di pasar modal belum sesuai dengan target yang ditentukan, kondisi disebabkan oleh: (1) belum adanya komitmen yang tinggi dikalangan pimpinan negara (pemerintahan, parlemen, kehakiman) untuk mengembangkan usaha BUMN; (2) belum tuntasnya sosialisasi mengenai aspek hukum kebijakan privatisasi BUMN, baik untuk manajemen BUMN, kalangan investor maupun masyarakat luas; (3) lemahnya law enforcement di Indonesia yang mengakibatkan tingkat kepercayaan investor dalam dan luar negeri terhadap kebijakan privatisasi di Indonesia masih rendah.

Kesimpulan
Kaitan Segi Hukum Bisnis di Pasar Modal Dengan Kebijakan Privatisasi BUMN Melalui Penjualan Saham
Keberhasilan dan kegagalan kebijakan privatisasi dinegara-negara lain dapat dijadikan benchmark dan landmark untuk mengevaluasi kebijakan privatisasi melalui penjualan saham di pasar modal Indonesia, adapun rekomendasi kepada pemerintah dan otoritas pasar modal adalah :
1. Pemerintah harus berperan untuk memberdayakan (empowerment) potensi-potensi yang ada di masyarakat untuk mensuksskan program privatisasi BUMN melalui penjualan saham di pasar modal.
2. Target dan realisasi kebijakan privatisasi BUMN 2003 dan 2004 harus diamankan secara rasional dengan dukungan political will, komitmen dan sosialisasi program privatisasi BUMN secara komprehensip.
3. Unifikasi dasar hukum dari pasar keuangan internasional harus didukung oleh ratifikasi UU dan peraturan di pasar modal di Indonesia
4. Karasteristik pelaku pasar modal yang rasional dan well educated people harus diantisipasi dengan komitmen implementasi GCG dan law enforcement di pasar modal Indonesia.
5. Berkaitan dengan Undang-undang No. 8/1995 tentang Pasar Modal yang harus diperhatikan aspek disclosure (keterbukaan informasi) dari BUMN, hal ini sangat penting bagi BUMN sebagai eminten dan investor. Bapepam sebagai otoritas pasar modal diharapkan dapat menegakan aspek disclosure di pasar modal Indonesia.
VII. Daftar Pustaka
Aswath, Damodaran, 2001, Corporate Finance: Theory and Practice, International Edition, Willey, New York.
Diah, Marwah, 1999, Kebijakan Privatisasi BUMN: Analisis Korporatisasi dan Privatisasi, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta.
Djalil, Sofjan, Desember 1994, Penyempurnaan Kelembagaan Sebagai Salah Satu Upaya Peningkatan Efisiensi BUMN, Jurnal Keuangan dan Moneter, Vol. 2 No. 1, BAKM.
Kajian Ekonomi dan Keuangan,Volume 8 Nomor 1 Maret 2004
73

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPandus-1.pdf

Minggu, 22 Mei 2011

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI

FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
Rachmat Hendayana dan Sjahrul Bustaman
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor

ABSTRAK
Suatu pengkajian empiris tentang LKM pertanian yang bertujuan untuk mengetahui kinerja
LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi pedesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa
pada awal tahun 2007 melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif menggunakan
metode group interview dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan pengguna
LKM. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif terhadap LKM contoh yang
dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) Keberadaan LKM diakui
masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini
tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional; (b) Secara faktual
pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih bias pada usahausaha
ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas,
hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni
kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM; (c) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor
pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital,
kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa
layanan LKM; (d) Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian
diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,
dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.
Kata Kunci: LKM, Perbankan, Usahatani, Seed capital
ABSTRACT
The empirical study of Micro Finance Institution (MFI) to investigate MFI performance in
rural economics development perspective have been conducted in Java and off Java, in the early
2007 through PRA approach with group interview and individual in depth interview, involve the
MFI board and customer. By using qualitative descriptive analysis approach of purposive chosen
MFI, the result study obtained a following picture: (a) the existence of MFI is strategic role as
intermediation of economics activities for the people who didn’t reach of conventional bank
services; (b) in fact MFI services have been successful, but it was still bias of non agricultural
business activities. The scheme of agricultural loan didn’t priorities, the budget of farming system
support relatively small. That is not more then 10 % from total of MFI budget; (c) Critical success
factors of agricultural MFI development are: legality of MFI institute, management capability, seed
capital support, reasonable farming system, characteristic of farming system, training of MFI
management and technical guidance of customer MFI; (d) Human resource development, seed
capital support and technical guidance of MFI customer are needed of the initiation and
development of agricultural MFI.
Key words: MFI, Banking, Farming system, Seed capital

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi
aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga
perbankan umum/bank konvensional;
11
(2) Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun
keberhasilannya masih bias pada usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim
perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh
relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari
10 % terhadap total plafon LKM;
(3) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek
legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan
ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna
jasa layanan LKM;
Saran
Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian diperlukan
adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,
dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna
kredit.

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Semnas4Des07_MP_A_Rachmat.pdf

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI

KODE ETIK DAN PERMASALAHAN HUKUM JASA PENILAI DALAM
KEGIATAN BISNIS DI INDONESIA
Joni Emirzon, SH., M.Hum.
Dosen Hukum Bisnis dan Ketua Kajian Hukum dan Bisnis FH Unsri

ABSTRAK
Dalam sepuluh tahun terakhir berbagai kasus bisnis timbul yang melibatkan usaha
jasa penilai asset, yang cenderung merugikan berbagai pihak, hal ini disebabkan oleh
bagaimana seorang melakukan penilaian asset atau properti. Bisnis Jasa Penilai adalah bisnis
yang sangat rentan dengan permainan mark-up atau menurunkan nilai suatu asset atau
properti sesuai dengan tujuan dari penilaian. Oleh karena itu, untuk melakukan penilaian
perlu pedoman atau aturan, sehingga tidak mengada-ada. Selama ini aturan yang menjadi
landasan kegiatan jasa penilai adalah Kode Etik Jasa Penilai, Kode etik yang berlaku saat ini
adalah Kode Etik GAPPI dan Standar Penilaian Indonesia (SPI), Kode Etik GAPPI dan SPI
sebenarnya tidak cukup untuk mengatur kegiatan Jasa Penilai, dan diperlukan berbagai
peraturan yang tegas, sehingga tidak menimbulkan berbagai masalah seperti saat ini.
Keywords : Hukum, Nilai, Penilai, Asset, Jasa.

KESIMPULAN DAN SARAN
Dasar hukum kegiatan jasa penilai adalah Kode Etik Penilaian Indonesia dan SPI. Etik
Profesional dalam dunia penilaian (appraisal) adalah mengutamakan kepentingan masyarakat
konsumennya yang mengandung maksud menjamin bahwa pengalaman profesi dilakukan
harus senantiasa dengan niat yang luhur dan dengan cara yang benar; Dengan etik tersebut
perlindungan dan penjagaan terhadap citra suatu profesi penilai karena citra ikut menentukan
keberhasilan suatu upaya pelayanan kepada si klien; Etik Profesional bertujuan memelihara
kelestarian dari profesi penilai sendiri. Dengan demikian pentingnya kode etik dan SPI
tersebut tidak saja untuk melindungi masyarakat dari perbuatan penilai yang tidak
bertanggung jawab tetapi juga melindungi Penilai dan Perusahaan Jasa Penilai sendiri namun
demikian tidak cukup, apabila pengaturan jasa penilai belum dibuat dalam satu ketentuan yang
tegas dan pasti seperti usaha-usaha jasa lainnya misalnya UU Perbankan, UU Pasar Modal,
UU Advokat

http://digilib.unsri.ac.id/download/joniemirzon.pdf

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI

KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA
Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum1



Abstract
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 Indonesia telah menyatakan tekadnya untuk mewujudkan sebuah sistem hukum investasi yang berkepastian hukum. UU ini menempatkan asas kepastian hukum sebagai asas utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dengan keluarnya UU ini, tidak dengan sendirinya seluruh problema investasi di Indonesia menjadi terselesaikan. UU ini hanya sebuah sub-sistem dari kompleksnya pengaturan investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh kepastian dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan aktifitas investasi, termasuk berbagai peraturan tentang transaksi bisnis internasional. Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis internasional yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi hukum dan penerapan hukum terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi kendala bagi perbaikan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain pembangunan hukum dalam pengertian substansi hukum terkait investasi, harmonisasi hukum, juga diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, para lawyer dan para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis terutama yang berdimensi internasional.



Kesimpulan
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis internasional sangat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara, baik investasi langsung maupun portofolio, baik yang dilakukan dengan modal asing maupun modal dalam negeri. Ketidakpastian dalam pengaturan dan penegakan hukum dalam transaksi bisnis internasional memicu ketidaknyamanan berinvestasi dan ketidakpercayaan terhadap iklim investasi di negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian transaksi bisnis internasional ini masih menjadi bagian dari kendala
investasi. Ketidakpastian ini tidak saja karena ketidakpastian substansi hukum (peraturan perundang-undangan), terutama karena adanya unclearity of status and definition dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena ketidakpastian penerapan peraturan dalam putusan-putusan pengadilan.
Citra hukum yang tidak pasti tidak saja disebabkan oleh kelemahan substansi hukum, tetapi juga karena kelemahan sumber daya manusia dari penegak hukum dan kultur pelaku transaksi yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan daripada itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan transaksi.
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah langkah awal dalam pembaharuan hukum investasi (langsung) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan aktifitas transaksi. UU ini dengan tegas mencantumkan asas kepastian hukum sebagai fundamental yang utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. UU bukanlah jawaban akhir dari seluruh problematika investasi di Indonesia tetapi merupakan instrument hukum yang berupaya memberikan bentuk dan arah pembangunan hukum investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh pembaharuan dan pembangunan hukum investasi secara menyeluruh, sistematik dan terintegral. Banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan pasca keluarnya UU ini. Dengan demikian, sangat diharapkan Indonesia menjadi tempat yang kondusif bagi investasi, sehingga optimalisasi peran investasi dapat dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional Indonesia sebagai negara berdaulat.

sumber : Adolf, Huala, “Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan” dalam http://www.lfip.org/English.pdf.
Atiyah, P.S, 1981, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford.
Cawley, Mc. 1981, The Growth of the Industrial Sector dalam A. Booth dan P. Mc. Cawley (ed.), The Indonesian Economy During the Suharto Era, University Press, Oxford.
http://www.hukumonline.com, “10 Perkara Litigasi Komersial Paling Menghebohkan 2004”.

JURNAL ASPEK & HUKUM DALAM EKONOMI

ASPEK-ASPEK HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN
SUATU TINJAUAN PRAKTIS 1
Dr. Jusuf Anwar, SH., MA 2



Abstrak


Kesulitan yang menimpa perekonomian Indonesia, terutama sejak terjadinya krisis
1997 yang masih berlangsung hingga tahun ini, mungkin tidak perlu terjadi apabila
antara lain dunia usaha secara sungguh-sungguh melaksanakan prinsip-prinsip
manajemen keuangan perusahaan yang sehat yakni dengan antara lain
menyeimbangkan struktur permodalan sedemikian rupa sehingga keperluan
jangka pendek benar-benar dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan jangka
pendek, sedangkan keperluan jangka penjang dibiayai dari sumber pembiayaan
jangka panjang. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan struktur permodalan
adalah pencerminan dari perimbangan antara hutang jangka panjang dan modal
sendiri dari suatu perusahaan. Perbaikan struktur permodalan dunia usaha
merupakan keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan memperkokoh daya
saing perusahaan dalam menghadapi persaingan yang semakin tajam terutama
dalam era globalisasi3. Upaya-upaya perbaikan dapat dilakukan salah satunya
dengan memperhatikan aspek-aspek good corporate governance, yang studi dan
risetnya makin banyak dilakukan oleh berbagai institusi baik dalam lingkungan
1 Disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional di Denpasar-Bali, 14-18 Juli 2003.
2 Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Direktur Eksekutif pada Bank
Pembangunan Asia (Asian Development Bank)
3 Jusuf Anwar, Peranan Hukum Sebagai Sarana Perdagangan Surat Berharga Jangka Panjang Dalam
Rangka Pembangunan Nasional, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2001, hlm.2.
nasional maupun internasional. Globalisasi yang ditandai dengan adanya
perapatan dunia (compression of the world) telah mengubah peta perekonomian,
politik, dan budaya. Pergerakan barang dan jasa terjadi semakin cepat. Modal dari
suatu negara beralih ke negara lain dalam hitungan detik akibat pemanfaatan
teknologi informasi. Sejalan dengan itu, kegiatan perbankan sebagai urat nadi
perekonomian bangsa tidak luput dari dampak globalisasi. Dalam menjalankan
fungsi intermediary, perbankan menjadi pelaku ekonomi yang berperan
memudahkan lalu lintas dana melalui jasa transfer via media elektronik. Salah satu
permasalahan hukum dalam jasa perbankan adalah belum adanya peraturan yang
memberikan rambu-rambu bagi kegiatan transfer dana elektronik ini, seperti dasar
hukum transfer dana, status kepemilikan dana transfer, perlindungan hukum bagi
pengirim dan penerima dana transfer dalam hal terjadi kesalahan yang ditimbulkan
oleh pihak bank, kedudukan pemilik dana dalam hal ini bank dilikuidasi atau pailit.
Permasalah-permasalahan di atas memerlukan aturan agar memberikan
kepastian hukum bagi pengguna jasa perbankan.
Aspek-aspek hukum lain di dalam bidang keuangan dan perbankan juga banyak
mewarnai problematika di bidang ekonomi dan hukum, misalnya penyimpangan
BLBI, prudential principles yang dihadapkan dengan penurunan fungsi
intermediasi perbankan, munculnya fenomena fee-based income dalam praktik
perbankan, dan berbagai persoalan ekonomi-hukum lainnya, yang kesemuanya itu
perlu memperoleh perhatian kita bersama. Penerapan prinsip kehati-hatian
(prudential banking principles) dalam seluruh kegiatan perbakan merupakan salah
satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan
berdampak positif terhadap perekonomian secara makro. Implementasi prinsip ini
harus menyeluruh, tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi
dimulai saat bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji
kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial.
Ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan fit proper test bagi pengurus bank
masih memiliki banyak kelemahan, seperti masih dimungkinkannya pengurus yang
tidak lulus tes untuk tetap bertahan walaupun harus bertanggungjawab secara
pribadi.
Disamping itu, dalam memberikan kemudahan akses kepada para nasabahnya,
maka penggunaan mesin-mesin ATM, debit card dan credit card berpotensi untuk
merugikan nasabah melalui pembobolan rekening, kerusakan mesin, dan
kesalahan-kesalahan teknis lainnya yang belum tersentuh oleh rambu-rambu
hukum. Kewajiban bank untuk menyediakan mesin-mesin yang layak dan aman
seharusnya mengacu pada standart tertentu, yang secara berkala seharusnya
ditera/dikalibrasi ulang. Selama ini belum ada keseragaman mengenai standar
mesin yang layak untuk dioperasikan. Kasus-kasus yang menunjukkan bahwa
kerugian nasabah yang disebabkan tidak layaknya mesin yang digunakan sudah
cukup banyak mendorong dibuatnya standarisasi setiap teknologi yang digunakan.
Tanpa menafikkan keberadaan lembaga peradilan, praktik perbankan memerlukan
penyelesaian kasus-kasus perbankan yang ditangani secara professional,
menjamin stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat dan perbankan.
Kasus-kasus perbankan yang ditangani secara bertele-tele, publikasi yang gencar
dan peradilan yang tidak independen, akan meruntuhkan reputasi perbankan.
Oleh karena itu, perlu adanya gagasan untuk menciptakan mekanisme
penyelesaian yang efesien, efektif dan tetap menjaga reputasi perbankan4.
Hal penting lainnya adalah berkaitan dengan Lembaga Penjamin Simpanan.
Sebagai mana di amanatkan oleh UU Perbankan, pembentukan Lembaga
Penjamin Simpanan harus sesegera mungkin diwujudkan menyusul akan
dihapuskannya kewajiban pemerintah sebagai penjamin dan berakhirnya tugas
BPPN. Aspek hukum yang perlu diperhatikan adalah mengenai status Lembaga
Penjamin Simpanan, perolehan dana jaminan dan pemanfaatan dana jaminan,
yang harus dituangkan dalam peraturan yang jelas. Selain itu, berkaitan dengan
berakhirnya tugas BPPN, perlu adanya lembaga sementara yang bertugas
4 Bandingkan dengan lembaga pasar modal yang sudah memiliki BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia).
menyelesaikan seluruh kewajiban BPPN, terutama transaksi-transaksi yang sudah
dilakukan, dan bahkan kemungkinan tuntutan hukum, apabila dalam pengelolaan
aset, BPPN telah melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum.
Dalam upaya untuk mengcover banyaknya masalah dalam praktik keuangan dan
perbankan nasional tentu bukan hal yang mudah untuk dibahas dalam sebuah
paparan singkat, maka pada hubungan itulah paper ini akan berupaya membahas
lebih lanjut esensi dari berbagai permasalahan yang telah dianalisir dimuka
melalui pembahasan beberapa aspek hukum sektor keuangan dan perbankan,
yang dalam pembahasannya akan mengacu pada beberapa permasalahan utama
yang berkaitan dengan masalah sistem hukum, penerapan good corporate
governance dalam sistem keuangan dan perbankan nasional, dan juga peran
hukum dalam mengakomodasi berbagai fenomena yang terjadi dalam bidang
keuangan dan perbankan.

Kesimpulan


1. Terjadinya dualisme hukum sebaiknya disikapi sebagai suatu hal yang positif
dan dapat lebih memudahkan regulasi yang akomodatif dan kondusif bagi
kebutuhan bisnis dan ekonomi. Faktor penting lainnya yaitu kebijakan ekonomi
yang dilakukan oleh pemerintah dari negara-negara Asia menjadi kunci yang
diterminan bagi pergeseran dan perubahan sistem hukum di banyak negara
Asia antara 1960 hingga saat ini. Namun demikian, perpaduan sistem hukum
ini belum dapat diklaim sebagai kovergensi penuh dan total dari kedua sistem
kontinental dan Anglo Saxon, karena aspek-aspek lain yang bersifat
prosedural banyak dibentuk dari sejarah, budaya dan tradisi hukum masingmasing
negara.
2. Penerapan good corporate governance harus dilakukan penuh kesadaran atau
komitmen yang tinggi dari berbagai pihak dan kalangan. Dalam konteks
keuangan dan perbankan, hal ini akan menjadi tugas setiap elemen
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan perbankan, asosiasi
keuangan dan perbankan, BPPN, dan juga Bank Sentral.
3. Perubahan paradigma tentang peran hukum, serta dari ‘hukum yang mengikuti
perkembangan ekonomi dan masyarakat’ menjadi ‘hukum yang berorientasi ke
depan yang mampu mengantisipasi dan mengakomodasi serta menjembatani
masalah hukum dan ekonomi dalam masyarakat nasional, namun juga
akomodatif dan mampu berintegrasi dengan ketentuan-ketentuan internasional
yang relevan, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak bagi perkembangan
ekonomi dan hukum.

http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Aspek-Aspek%20Hukum%20-%20jusuf%20anwar.pdf